Selasa, 29 Maret 2016

OBESITAS MENYEBABKAN RENDAHNYA KEBUGARAN JASMANI



Obesitas Menyebabkan Rendahnya Kebugaran Jasmani.
Hasil survei Sosial Ekonomi Nasional, (2004) ; dalam Nerry A Sani, (2004:2) menyatakan ‘penyebab rendahnya kebugaran jasmani selain pola makan tidak seimbang, kurang serat, kurang sayur, dan kurang buah, juga masalah kegemukan (obesitas)’.  Menelaah penyebab obesitas, pada umumnya berhubungan dengan pola makan tidak seimbang antara aktivitas tubuh dan konsumsi makanan. Orang yang mengalami obesitas, porsi makannya lebih banyak karena tidak aktifnya hipotalamus.  Hipothalamus adalah bagian otak yang memberi sinyal kenyang sepuluh menit sesudahnya.   Di pusat hipothalamus terdapat dua sinaps yang memberitahukan rasa lapar dan rasa kenyang. Untuk sinaps rasa lapar, terletak pada ventrolateral hypothalamus sedangkan pusat kenyang terletak pada ventromedial hipothalamus.  Dalam keadaan normal isyarat rasa lapar dikirim ke korteks serebri yang berasal dari pusat kenyang karena dipengaruhi oleh distensi lambung, plasma glucose, dan insulin serta pengaruh substansi katekolamin sehingga orang tersebut merasa kenyang. Tetapi apabila terjadi gangguan pada regulasi perambatan ini, maka orang tersebut tidak merasa kenyang dan terjadi makan yang berlebihan pada akhirnya menyebabkan obesitas.
Obesitas dari perspektif metabolisme merupakan indikator dari berfungsinya kerja metabolisme secara baik. Semakin cepat metabolisme bekerja, maka semakin baik  tubuh anda. Sebaliknya semakin lambat metabolisme bekerja, maka tubuh anda mengalami obesitas.  Metabolisme wanita lebih lambat dari pria, oleh karena itu sebanyak 30 persen wanita lebih cepat gemuk dibandingkan pria.  Pada pria muda kandungan lemak tubuh rata-ratanya 12 persen sedangkan wanita 2 persen.  Karena itu, apabila pria kandungan lemak tubuhnya melebihi dari 20 persen dinyatakan obesitas, demikian pula wanita  apabila melebihi dari 30 persen dinyatakan obesitas.  Pada wanita lemak di simpan di bagian pinggul, sedangkan pada pria lemak di simpan di perut. 
Menurut D., Rusli Syarif dokter ahli nutrisi dan metabolik anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) dalam Misnadiarli, (2007;144) ‘Obesitas adalah penyakit yang ditandai penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan’.   Sekarang ini obesitas tidak saja di alami orang dewasa, tetapi juga anak-anak.  Perihal ini dinyatakan Ebbeling PawLak dan Ludwing,(2002); Finer, (2003),Wang, Monteiro, & Popkin, (2002) dalam Chin Ming-kai (2008:1) mengatakan ‘…the world-wide prevalence of obesity in childhood is also increasing’. Artinya di seluruh dunia masalah obesitas pada masa kanak-kanak semakin meningkat’.(Journal 12th World Sport for All Congress Malaysia 2008). 
Pernyataan yang sama disampaikan Florentino, (2002);  dalam Chin Ming Kai (2008:3) “Increasing prevalence of obesity has been shown not only in the industryiall developed countries, but also in the developing countries.  Artinya meningkatnya penyakit obesitas, tidak hanya di negara-negara maju, tetapi juga melanda negara-negara berkembang.  Kemudian WHO (2002) menyatakan “overweight was listed as the fifth most serious risk factor,  accounted for 39% of the total global prevalence of obesity”.  Artinya kelebihan berat merupakan faktor resiko kelima paling serius,  dari 39 persen total obesitas.  Sekarang ini menurut laporan WHO, ada enam negara dari sepuluh negara di Asia mengalami penyakit obesitas tertinggi, yakni; (1) Cina, (2) India, (3) Indonesia, (4) Jepang, (5) Pakistan dan (6) Banglades.  Perihal ini sebagaimana yang diungkapkan Chin Ming-kai (2008:3) yang menyatakan “In a recent WHO report (2002), six Asian countries China, India, Indonesia, Japan, Pakistan and Bangladesh are listed among the top 10 countries with the greatest prevalence of the disease of obesity.
Kemudian berdasarkan hasil survey himpunan obesitas Indonesia Askandar Tjokroprawiro, (2006); dalam Misnadiarli (2007;144) menyatakan bahwa ‘anak-anak SD favorit di Jakarta Selatan, saat ini mengalami obesitas sebanyak 20 persen, dan di Semarang 1730 orang anak usia 6-7 tahun diketahui 9 persen overweight dan obesitas 12 persen.  Perihal yang sama dikemukakan Djer (1998) dalam Misnadiarly (2007:145)  yang melaporkan bahwa  ‘prevalensi obesitas siswa SD negeri di Jakarta pusat mengalami obesitas 9,6 persen’.   Hal ini pula diperkuat oleh Meilany, (2002) dalam Misnadiarly (2007:145) yang menyebutkan bahwa ‘prevalensi obesitas anak-anak SD swasta di Jakarta timur mengalami obesitas 27,5 persen.  Dengan demikian, Meilany menyimpulkan bahwa anak lelaki perkotaan mengalami kenaikan obesitas dari 4,6 persen menjadi 6,3 persen,  sedangkan anak perempuan dari 5,9 persen naik menjadi 8 persen’. 
Kosti & Panagiotakios, (2006); Ebbeling,  Pawlak & Ludwig (2002) dalam Chin Ming-kai (2008:4) menyebutkan :  “…..It is estimated 155 million school-age children and  adolescent  experience of obesity and being overweight”.  Artinya ...diperkirakan sekitar 155 juta anak-anak dan anak remaja usia sekolah (sworld-wides) mengalami gejala obesitas dan kelebihan berat).  Selanjutnya Ogden et al (2006) dalam Chin Ming-kai (2008:4) melaporkan“the prevalence of obesity among US children ages 6 to 11 is estimated to have increased from 15,1%  to 18,8% between 1999 and 2004”.   Ogden memprediksi bahwa anak-anak usia 6 sampai 11 tahun mengalami obesitas di perkirakan meningkatkan dari 15,1 persen  menjadi 18,8 persen  antara tahun 1999 dan 2004.   Prediksi tersebut sama tingginya sebagaimana dilaporkan General Accounting Office, (2006) dalam Chin Ming-kai (2008:4) yang menyatakan “It is estimated that as high as 20%  of American children and youths will be obese by 2010”  Artinya bahwa anak-anak kecil dan anak remaja Amerika Serikat menderita obesitas meningkat sebanyak 20 persen pada tahun 2010.  
Kasus semacam ini  oleh Doak et al., (2006)  dalam Chin Ming-kai (2008:2) dinyatakan sebagai ‘has been called an obesogenic  environment’ yakni sebagai lingkungan obesogenic.  Di Amerika Serikat, lingkungan obesogenic telah meresahkan lembaga President Council Physical Fitness dan Sports AS. Karena menurut Booth dan Chakravarthy, (2002) ; dalam Chin Ming-kai (2008:3) ‘his created the phrase sedentary death syndrome (SeDs) to describe the impact of sedentary living and obesity’.  Ungkapan tersebut menggambarkan, ke tidakaktifan fisik dalam kehidupan sehari-hari, dampaknya akan terjadi sindrom kematian (SeDs).  Rendahnya kebugaran jasmani di Indonesia, dikatakan sebagai dampak dari rendahnya kualitas pengajaran pendidikan jasmani.  Selanjutnya dipaparkan masalah rendahnya kebugaran jasmani di kalangan anak-anak usia sekolah.


Persoalan Rendahnya Kebugaran Jasmani Anak.
WHO (2004); dalam G. Petersen (2004;2) menyatakan : “…WHO is promoting healty, active and smoke-free lifestyles. Our aim is to prevent the disease and disability coused by unhealthy and sedentary living”.  Artinya “WHO mempromosikan kesehatan, gaya hidup aktif dan bebas asap. Tujuannya mencegah penyakit dan cacat disebabkan duduk terus menerus”.  Pernyataan WHO seperti ini, merupakan warning bagi masyarakat untuk dapat mencegah penyakit akibat kurang gerak (hipokinetik),  seperti penyakit cardiovascular, kencing manis, obesitas dan jantung.  Sekarang ini penyakit jantung tidak lagi menyerang orang dewasa, tetapi juga menyerang anak-anak dan remaja. “Apabila hal ini dapat dicegah lebih awal, maka akan mengurangi angka kematian sebesar 2 juta orang atau 5479 orang yang meninggal dunia akibat penyakit hypokinetik setiap tahunnya” (G.Peterson 2004:3). 
Menelaah rendahnya kebugaran jasmani, banyak pemerhati kebugaran melakukan survey/penelitian.  Perihal ini diawali dari hasil penelitian longitudinal Departemen Kesehatan (1972-2001):dalam Nerry, A. Sani, (2004:7) menyimpulkan bahwa ‘penyebab utama kematian di Indonesia diakibatkan oleh penyakit kardiovaskuler.  Penyakit ini selalu meningkat dari tahun ke tahun, seperti pada tahun 1972 urutan kesebelas naik menjadi urutan ketiga tahun 1986, dan terus meningkat menjadi urutan pertama tahun 1992, 1995, dan 2000’.   
Kemudian hasil survey Depkes (2001) dalam Pribakti; B, (2009:10) meneliti masyarakat Indonesia berusia 25 tahun, hasilnya menyimpulkan bahwa ‘masyarakat Indonesia mengalami hipertensi 56 persen (27% pria, 29% wanita), penyakit jantung tiga persen, diabetes dua persen dan obesitas 5,9 persen (1,3% pria dan 4,6% wanita)’. Hasil seperti ini relatif  sama dengan  penelitian kebugaran jasmani pegawai negeri sipil  (2002)  khususnya di lingkungan dinas kesehatan propinsi DKI Jakarta,  Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Bali.  Baik sekali hanya 1,05 persen,  kategori baik 4,15 persen,  sedang 10,55 persen, kurang 33,60 persen, dan kurang sekali 63 persen. (G.Peterson,2004:4) (http://www. Journalhealth.com/news/0204/04/073320.htm)
Rendahnya tingkat kebugaran jasmani, juga melanda anak pelajar di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia.  Hal ini terbukti dari hasil survey yang dilakukan oleh tim pengembang Sport Development Index (SDI; 2005) meneliti kebugaran jasmani pelajar SD, SMP dan SMA di seluruh Indonesia.  Hasilnya tidak ada kebugaran jasmani anak  yang baik sekali (nol persen), baik hanya 5,66 persen, sedang 37,66 persen, kurang 45,97 persen, dan kurang sekali 10,71 persen.  Demikian pula pada tahun 2006, SDI menyurvey kebugaran jasmani masyarakat Indonesia berusia 25–30 tahun. Hasilnya kategori baik sekali hanya 5,05 persen, baik 5,15 persen, sedang 13,55 persen, kurang 43,90 persen dan kurang sekali 37,40 persen. (Toho Cholik,Ali Maksum 2007;52).  
Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan, sehingga dapat dibayangkan bagaimana produktivitas kerja masyarakat selama ini.  Karena itu, masyarakat perlu didorong untuk melakukan berbagai aktivitas jasmani secara sistematis, dan berkelanjutan. Dampak lain, akibat rendahnya kebugaran jasmani masyarakat, di tinjau dari dua sisi ekonomis yang terjadi, yakni : (1) peningkatan biaya pengobatan, (2) penghematan biaya pengobatan.  
Dari sisi peningkatan biaya,  perihal ini terbukti dari hasil survey American Alliance for Health, Physical Education, Recreation and Dance(AAHPERD:1999) dalam Toho dan Maksum, (2007:47), menyatakan ‘beberapa negara terjadi peningkatan biaya pengobatan, seperti di Belanda 2.4 persen, Kanada 6 persen, dan Amerika Serikat 9 persen termasuk biaya untuk mengatasi obesitas’.  Pernyataan serupa juga disampaikan NAO, (2001) dalam Chin Ming Kai (2008:3) “Low self  esteem, depression anxiety, work  absenteeism and low work productivity are key contributors to the economic and social costs of obesity”.  Artinya sekarang ini banyak orang yang mengalami self-estemnya rendah, depression anxiety, produktivitas kerja rendah akibatnya penghasilannya berkurang”.  Dave Jackson, Houlihan (1997) dalam Rusli Lutan dan Hallan Pereire (2003:2a) menyatakan ‘apabila olahraga dapat dikemas dengan baik, dengan apik mempunyai peluang ekonomi yang besar bagi sebuah industri olahraga dengan memanfaatkan sumber paralatan dan infastruktur yang representatif.
Kemudian dari sisi penghematan biaya, sebagaimana yang dikatakan Bruce Kidd (1997) dalam Toho dan Maksum, (2007:47) makalahnya berjudul the economic case for physical education menjelaskan, bahwa ‘Amerika Serikat dapat menghemat biaya pengobatan sebesar $ 330/orang, atau sebesar $ 580 juta/orang dalam setahun.  Kanada sebesar $ 364/orang, atau sebesar $ 200 juta/orang dalam setahun’.  Dengan demikian, apabila setiap 1 dollar diinvestasikan pada aktivitas jasmani, maka akan menghasilkan penghematan biaya pengobatan sebesar $ 320/orang dan menghasilkan keuntungan sebesar $ 29 juta dalam setahun. 
Pendapat yang sama juga dikatakan Hallan Pereire dan Rusli Lutan, (2003:2b) menyatakan bahwa melakukan ‘Olahraga dapat menurunkan nilai keuangan pemerintah dalam mengeluarkan biaya pengobatan kepada masyarakat akibat hypokinetik’. Olahraga juga merupakan alat untuk mengawali pengembangan sosial dikalangan anak-anak. Perihal ini Rusli Lutan (2003:2c) menegaskan kembali bahwa ‘dikalangan anak muda yang aktif berolahraga memiliki keuntungan secara psikologis, sosial dalam membangun harga diri (self-esteem), konsep diri (self-concept) dan percaya diri (self-efficacy) serta menurunkan angka kenakalan remaja dalam penyimpangan perilaku negatif’.
Dweyer, (1996), Graham, (2004);dalam disertasinya B. Abdul Jabar (2009:223) mengungkapkan bahwa ‘para siswa yang aktif melakukan aktivitas jasmani 4 kali sehari selama 14 minggu mampu menunjukkan perilaku akademik yang baik di dalam kelas”.  Ungkapan yang sama Jansen (2000); Graham (2004) dalam B. Abdul Jabar (2009:224) menyatakan ‘dengan melakukan berbagai aktivitas jasmani setiap hari, akan memicu pertumbuhan sel baru otak, meningkatkan/memperkuat memori otak,  dan memicu kerja kognitif’. 
Dalam kaitan ini, Jansen dan Carla Hannarford merekomendasikan kepada anak-anak untuk selalu melakukan aktivitas jasmani setiap hari (daily physical activity) karena akan berkontribusi terhadap peningkatan  prestasi akademiknya di sekolah.  Diyakini pula bahwa dengan aktivitas fisik dapat menggugah aktivitas otak dan mampu mempromosikan belajar kognitif dan psikomotor.  Dengan demikian, tidaklah berlebihan Prigge (2002);Graham (2004) sebagaimana diungkapkan B. Abdul Jabar (2009:224) mengatakan bahwa ‘melalui program pendidikan jasmani,  dapat membantu siswa menjadi lebih cerdas atau berpikir cerdas’. 

PENTINGNYA MODEL PEMBELAJARAN



Konsep dan Pentingnya Model
1.      Konsep  Model
Mengajar adalah perbuatan yang kompleks. Perbuatan yang kompleks dapat diterjemahkan sebagai penggunaan sejumlah komponen secara integrative yang terkandung dalam perbuatan mengajar itu untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Sejalan dengan semakin kompleksnya kompetensi yang ingin dicapai melalui pendidikan jasmani, maka tuntutan terhadap pendekatan pembelajaran yang digunakan harus canggih. Dalam sejarah pembelajaran pendidikan jasmani, dikenal banyak ragam pendekatan dimulai dari yang paling sederhana (tradisional) disebut metode lalu berkembang menjadi istilah strategi, lalu berkembang lagi menjadi istilah gaya gaya mengajar, pendekatan (approach) dan yang paling modern sering disebut dengan model-model (Matzler 2000).
Dalam kaitan dengan proses pembelajaran ada baiknya guru menggunakan protipe dari model. Disebut model karena hanya merupakan garis besar (pokok-pokok) yang memerlukan pengembangan yang sangat situasional. Dalam studi pengembangan pembelajaran, model mendapat perhatian khusus. Secara umum istilah model diartikan sebagai pedoman atau acuan dalam melakukan suatu kegiatan. Fred Percipel (tt dalam Hamalik, 2002) menyatakan bahwa “model is a physical or conceptual representation of an objek or system, incorporating certain specific features of the original”. Maksud dari pernyataan tersebut, model adalah suatu penyajian fisik atau konseptual dari suatu objek atau system yang mengkombinasikan/menyatukan begian-bagian khusus tertentu dari objek aslinya. Jadi model bukan merupakan bentuk asli, tetapi berupa rancangan yang terdiri dari banyak reproduksi. Selain itu Briggs (1995) dalam Harjanto (2006) menjelaskan bahwa “model adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewujudkan suatu proses, seperti penilaian kebutuhan, pemilihan media dan evaluasi”. Lebih lanjut Rogers , dalam Hamalik (2002:2) menjelaskan “…the models may be conceptual and consist of word desdription of drawing.physical models that consist of rel object that process some of the characteristic of the real thing”. Masih ada pendapat lain mengenai model, yaitu menurut Mills (1989:4) adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses actual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model sering digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih banyak tentang gejala-gejala. Hal ini sesuai dengan fungsi model yang bersifat mencari. Seringkali model juga mempunyai fungsi menerangkan atau melukiskan belaka.menerangkan atau melukiskan tentunya tidak akan sempurna karena keterbatasan model. Model menjelaskan tentunya tidak kan smpurna karena keterbatasan suatu model. Model dapat berupa skema, gambar, bagan atau tabel. Model menjelaskan keterkaitan berbagai komponen dalam suatu pola pemikiran yang disajikan secara utuh, konsisten dan menyeluruh. Hal ini disebabkan karena suatu model disusun dalam upaya mengkongkretkan keterkaitan hal-hal abstrak dalam suatu skema, bagan, gambar atau tabel. Dengan mencermati model, maka dapat terbaca uraian tentang banyak hal dalam sebuah pola yang mencerminkan alur piker dan pola tindakan. Secara menyeluruh model dapat dimaknai sebagai suatu objek atau konsep yang digunakan untuk mempresentasikan sesuatu hal, sesuatu yang nyata dan dikonversi untu sebuah bentuk yang lebih komprehensif. (Mayer, 1985).
Dalam konteks pembelajaran, model adalah suatu penyajian fisik atau konseptual dari system pembelajaran, serta berupaya menjelaskan keterkaitan berbagai kompone system  pembelajaran ke dalam suatu pola.kerangka pemikiran yang disajikan secara utuh. Suatu model pembelajaran meliputi keseluruhn system pembelajaran yang mencakup komponen tujuan, kondisi pembelajaran, proses belajar-mengajar dan evaluasi hasil pembelajaran.

2.      Pentingnya Penggunaan Model.
Model digunakan untuk dapat membantu memperjelas prosedur, hubungan serta keadaan keseluruhan dari apa yang didesain. Menurut Joyce dan Weil (1980), ada beberapa kegunaan dari model, antara lain :
a.       memperjelas hubungan fungsional diantara berbgai komponen, unsure atau elemen system tertentu.
b.      Prosedur yang akan ditempuh dalam melaksanaan kegiatan dapat diidentifikasi secara tepat.
c.       Dengan adanya model maka berbagai kegiatan yang dicakupnya dapat dikendalikan.
d.      Model akan mempermudah para administrator untuk mengidentifikasi komponen, elemen yang mengalamani hambatan, jika kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan tidak efektif dan tidak produktif.
e.       Mengidentifikasi secara tepat cara-cara untuk mengadakan perubahan jika pendapat ketidaksesuaian dari apa yang telah dirumuskan.
f.       Dengan menggunakan model, guru dapat menyusun tugas-tugas siswa menjadi suatu keseluruhan yang terpadu.
Walaupun banyak kegunaan dari model, namun terdapat pula kelemahannya, yaitu dapat menjadikan seseorang kurang berinisiatif mengkreasikan kegiatan-kegiatan. Hal tersebut dapat diatasi jika sesuatu model dapat menjamin adanya fleksibilitas sehingga memungkinkan seseorang yang menggunakan model tertentu untuk mengadakan penyesuaian terhadap situasi atau kondisi secara lebih baik. Apalagi dalam menangani masalah-masalah pendidikan, yang dalam banyak hal sangat terpengaruh oleh perubahan variabel-variabel lain diluar bidang pendidikan tersebut. Oleh karena itu dalam melukiskan suatu model sebaiknya dimungkinkan adanya perubahan-perubahan dalam mengadakan penyesuaian terhadap kebutuhan yang ada.

3.      Konsep Pembelajaran
Ada beberapa konsep mengenai pembelajaran, yaitu
ü  Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. (Dimyati & Mudjiono, 2005).
ü  Pembelajaran adalah proses yang sistematis melalui tahap, rancangan, pelaksanaan dan evaluasi. (UUSPN No 20 th 2003).
ü  Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidikan dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. (Joyce & Weil, dalam Dedi Dupriawan dan Benyamin Suranega, 1990).
ü  Pembelajaran adalah segala kegiatan yang dirancang oleh guru untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan nilai yang baru dalam suatu proses yang sistematis melalui tahapan, rancangan, pelaksanaan dan evaluasi dalam konteks kegiatan pembelajaran. (Knirk & Gustafon, 2005).

4.      Konsep Dasar Model-Model Pembelajaran.
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, computer, kurikulum dsbnya (Joyce, 1992). Selanjutnya Joyce menyatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarah kepada desain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
Soekamto dkk dalam Nurulwati (2000) mengemukakan maksud dari model pembelajaran adalah “kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merancanakan aktivitas belajar mengajar”. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak bahwa model pembelajaran memberikan kerangka dan arah bagi guru untuk mengajar.
Joyce & Weil (1992) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran dan membimbing pembelajaran dikelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efesien untuk mencapai tujuan pendidikan.

5.      Model-model Pembelajaran.
Berbagai definisi yang menjelaskan mengenai model pembelajaran, antara lain :
a.       Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
b.      Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar (Burden & Byrd, 1999).
c.       Model pembelajaran adalah rancangan yang dibuat oleh guru untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan atau nilai-nilai baru dalam suatu proses yang sistematis melalui tahap rencana, pelaksanaan dan evaluasi dalam konteks kegiatan belajar mengajar. (Knirk & Gustafon, 2005).
d.      Model pembelajaran adalah suatu pegangan praktis dalam pengelolaan pengajaran di kelas. Model itu mencakup semua komponen pokok yang harus dipertimbangkan dan diatur oleh guru. (Winkell, 1991).
e.       Model pembelajaran dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan fungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. (Udin Winataputra, 1994).
f.       Model pembelajaran adalah sekumpulan strategi mengajar yang digunakan guru agar siswa saling membantu dalam mempelajari sesuatu. (Edgen &Kauchak, 1993:319).
g.      Model pembelajaran merupakan bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode dan teknik pembelajaran. (Dedi Supriawan & A., Benyamin S, 1990).
h.      Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau tutorial untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, computer, kurikulum, dll (Joyce & Weil, 1992). Selanjutnya Joyce & Weil menyatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarahkan guru dalam mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
i.        Model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada strategi, metode atau prosedur pembelajaran.istilah model pembelajaran mempunyai empat cirri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi/metode pembelajaran, yakni : (1) rasional teoretis, logis yang disusun oleh guru, (2) tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (3) langkah-langkah mengajar yang diperlukan dengan menerapkan model yang baik agar pembelajaran dapat dilaksanakan secara optimal, (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.
j.        Model pembelajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksisnya, lingkungannya, dan system pengelolaannya. Selain itu dijelaskan pula bahwa model pembelajaran merupakan langkah yang digunakan dan mekanisme untuk kegiatan pembelajaran juga sebagai acuan pelaku pendidikan agar tercapai tujuan yang ingin dicapai.
Dalam prakteknya, yang harus diingat oleh guru adalah tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk diterapkan dalam proses pembelajaran, namun model pembelajaran akan menjadi tepat jika memperhatikan kondisi siswa, sifat materi/bahan ajar, fasilitas sarana dan prasarana, dan kondisi guru itu sendiri.

6.      Ciri-ciri Model Pembelajaran
Model pembelajaran memiliki ciri-ciri sbb :
a.       Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu. Misalnya model berpikir induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikir induktif.
b.      Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar dikelas.misalnya model Synectic yang tujuannya untuk memperbaiki kreativitas dalam pelajaran mengarang.
c.       Memiliki bagian-bagian model pelaksanaan, yaitu (1) urutan langkah-langkah pembelajaran (syntax), (2) adanya prinsip-prinsip reaksi, (3) system sosial, dan (4) system pendukung. Keempat bagan tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran.
d.      Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak tersebut meliputi : (1) dampak penggiring, yaitu hasil belajar jangka panjang.
e.       Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya.

7.      Karakteristik dan Fungsi Model Pembelajaran.
Karakteristik umum yang dapat dikenal dari semua model pembelajaran menurut Joyce & Weil (1980) adalah sbb :
a.       Prosedur ilmiah, maksudnya model pembelajaran bukanlah suatu gabungan fakta yang rancu, tetapi suatu prosedur yang sistematis untuk mengubah perilaku siswa dan berlandaskan suatu asumsi tertentu.
b.      Hasil belajar yang spesifik, maksudnya setiap  model pembelajaran memperinci hasil belajar berdasarkan perilaku siswa yang dapat diamati. Perbuatan apa yang akan ditunjukkan siswa setelah mengalami pembelajaran dirinci secara lebih nyata, terukur dan teramati.
c.       Lingkungan yang spesifik, maksudnya setiap model pembelajaran memperinci secara tegas kondisi lingkungan di mana respons siswa hendak diamati.
d.      Kriteria tingkah laku, maksudnya model pembelajaran selalu merinci kriteria perilaku yang diharapkan dari siswa, membatasi hasil belajar siswa yang bersifat perilaku yang diharapkan Nampak pada siswa setelah menyelesaikan pembelajaran tertentu.
e.       Pelaksanaan yang dispesifikasikan maksudnya semua model merinci mekanisme rekasi dan interaksi siswa dalamsuatu lingkungan tertentu.

Fungsi model pembelajaran tidak hanya untuk mengubah perilaku siswa sesuai dengan yang diharapkan, tetapi juga berfungsi untuk mengembangkan berbagai berbagai aspek yang bersangkutan dengan proses pembelajaran. Selain itu model pembelajaran bermanfaat untuk menyusun rencana pendidikan siswa, akrena memungkinkan kegiatan sesuai dengan kebutuhan siswa.
Beberapa fungsi penting yang seharusnya dimiliki suatu model pembelajaran menurut Joyne & Weil (1980) adalah sbb :
Ø  Bimbingan, maksudnya suatu model pembelajaran berfungsi menjadi acuan bagi guru dan siswa mengenai apa yang seharusnya dilakukan,memiliki desian instruksional yang komprehensif, dan mampu membawa guru dan siswa kearah tujuan pembelajaran.
Ø  Mengembangkan kurikulum, maksudnya model pembelajaran selanjutnya berfungsi untuk dapat membantu mengembangkan kurikulum pada setiap kelas atau tahapan pendidikan.
Ø  Spesifikasi alat pelajaran, maksudnya model pembelajaran berfungsi merinci semua alat pembelajaran yang akan digunakan guru dalam upaya membawa siswa kepada perubahan-perubahan perilaku yang dikehendaki.
Ø  Memberikan perbaikan terhadap pembelajaran. Maksudnya model pembelajaran dapat membantu meningkatkan aktivitas proses belajar mengajar sekaligus meningkatkan hasil belajar siswa.
TUGAS :
1.      Jelaskan mengapa mengajar disebut sebagai perbuatan yang kompleks?
2.      Jelaskan apa yang dimaksud dengan model?
3.      Jelaskan apa saja yang termasuk ke dalam ciri-ciri model pembelajaran?
4.      Jelaskan mengapa model pembelajaran dianggap penting bagi guru?
5.      Jelaskan menurut anda mengapa tidak satupun model pembelajaran dapat dikatakan terbaik?


KEGIATAN BELAJAR 2 :
Rumpun Model Pembelajaran.
Model pembelajaran banyak jumlahnya,namun jika dikelompokkan sebenarnya hanya rerdiri dari empat rumpun model, yakni : (a) model pemprosesan Informasi (b) model pribadi, (c) model interaksi sosial, dan (d) model perilaku. Penjelasan masing-masing model ini mengacu pandangan Joyce dan Weil (1980) sbb :
1.      Model Pemprosesan Informasi.
Rumpun model ini terdiri dari model pembelajaran yang menjelaskan bagaimana cara individu memberi respons yang datang dari lingkungannya dengan cara mengorganisasikan data, menformulasikan masalah, membangun konsep dan rencana pemecahan masalah serta penggunaan symbol-simbol verbal dan non-verbal. Di antara model yang termasuk dalam rumpun ini ditemukan juga model yang menitik-beratkan perhatiannya pada proses di mana siswa dibimbing untuk dapat memecahkan masalah, ada pula model yang mengutamakan pada kecakapan intelektual umum. Kadang kala dijumpai pula model yang menonjolkan interaksi sosial dan hubungan antar pribadi serta perkembangan kepribadian murid yang terintegrasi dan fungsional. Model pemprosesan informasi memfokuskan perhatian pada aktivitas yang membina keterampilan (skill) dan isi (content) pembelajaran yang disampaikan kepada siswa.
Model pemprosesan informasi ditekankan pada pengambilan, penguasaan dan pemprosesan informasi. Model ini lebih memfukoskan pada fungsi kognitif siswa. Model ini didasari oleh teori belajar kognitif (Piaget) dan berorientasi pada kemampuan siswa dalam memproses informasi yang dapat memperbaiki kemampuannya.  Pemprosesan informasi merujuk pada cara mengumpulkan atau menerima stimuli dari lingkungan, mengorganisasi data, memecahkan masalah, menemukan konsep dan menggunakan symbol verbal dan visual. Teori pemprosesan informasi (kognitif) dipelopori oleh Robert Gagne (1985). Asumsinya adalah pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil komulatif  dari pembelajaran. Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi yang kemudian diolah sehingga menghasilkan output dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemprosesan informasi terjadi interaksi antara kondisi internal (keadaan individu, proses kognitif) dan kondisi-kondisi eksternal atau rangsangan dari luar (lingkungan). Interaksi antar keduanya akan mendapatkan hasil belajar. Pembelajaran merupakan keluaran dari pemprosesan informasi yang berupa keterampilan manusia (human capitalities). Keterampilan manusia dimaksud terdiri dari : (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) keterampilan motorik.
Menurut Rober M. Gagne ada delapan fase proses pembelajaran, yakni :
1)      Motivasi baik motivasi intrensik maupun ekstrensik merupakan (fase awal) memulai pembelajaran. Dengan adanya dorongan semangat untuk melakukan suatu tindakan dalam mencapai tujuan tertentu.
2)      Pemahaman individu dalam menerima informasi yang didapatkan dari pembelajaran. Pemahaman ini dibantu oleh perhatian (atensi).
3)      Perolehan individu, yakni mempersepsi informasi di dalam dirinya sehingga terjadi proses penyimpanan dalam memori siswa.
4)      Ketahanan (daya ingat) individu, maksudnya daya tahan individu setelah menerima informasi yang tersimpan dalam kotak memori jangka panjang.
5)      Ingatan kembali, yaitu mengeluarkan kembali informasi yang telah disimpan, bila ada rangsangan.
6)      Generalisasi, yakni menggunakan hasil pembelajaran untuk keperluan tertentu.
7)      Perlakuan, yaitu perwujudan perubahan perilaku individu sebagai hasil belajar.
8)      Umpan balik yaitu untuk memperoleh feedback dari perilaku yang telah dilakukannya.

Kemudian dalam kaitannya dengan pemprosesan informasi pada saat proses pembelajaran berlangsung, maka ada Sembilan langkah yang harus diperhatikan guru, yakni :
1)      Melakukan tindakan untuk menarik perhatian siswa
2)      Memberikan informasi mengenai tujuan dan topik pembelajaran.
3)      Merangsang siswa (appersepsi) untuk memulai pelajaran.
4)      Menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan topik dan tujuan yang telah ditetapkan.
5)      Membimbing siswa
6)      Memberikan penguatan (reward)
7)      Memberikan feedback kepada siswa
8)      Melaksanakan penilaian dari proses hasil belajar
9)      Tanya-jawab (diskusi)

Pendekatan atau strategi model pemprosesan informasi
1)      Mengajar induktif, tujuannya untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan membentuk teori.
2)      Latihan inquiry tujuannya untuk mencari dan menemukan informasi yang diperlukan.
3)      Inquiry keilmuan tujuannya untuk mengajarkan system penelitian dalam disiplin ilmu, diharapkan dapat memperoleh pengalaman dalam domain disiplin ilmu lainnya.
4)      Pembentukan konsep tujuannya untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan mengembangkan konsep dan kemampuan menganalisis.
5)      Model pengembangan tujuannya untuk mengembangkan intelegensi umum, terutama berpikir logis, aspek sosial dan moral.
6)      Model Advanced organizer tujuannya untuk mengembangkan kemampuan memproses informasi secara efesien menyerap satuan keilmuan secara bermakna.
Implikasi Teori Belajar Kognitif (Piaget) dalam pembelajaran.
ü  Bahasa dan berpikir anak berbeda dengan orang dewasa
ü  Guru membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan belajar
ü  Materi yang dipelajari aktual (aptuded) dirasakan baru, tetapi tidak terlalu asing dengan pendekatan mengacu pada prinsip DAP.
ü  Di kelas siswa diberi kesempatan bersosialisasi dan berdiskusi sebanyak mungkin.

Rumpun Model Pemprosesan Informasi
1.      Model berpikir induktif (Hilda Taba). Model ini dirancang untuk pengembangan proses mental induktif dan penalaran akademik atau pembentukan teori.
2.      Model latihan inkuiri (Richard Suchman). Model ini dirancang untuk menyiapkan siswa menghadapi penalaran kausal komparatif agar anak lebih efektif dalam mengajukan pertanyaan, membentuk konsep dan hipotesis.
3.      Model Inquiry Ilmiah (Joseph J.Schwab).  Model  ini dirancang untuk mengajarkan system penelitian dalam kawasan pemahaman sosial dan pemecahan masalah sosial.
4.      Model Konsep Jerome Bruner. Model ini dirancang untuk mengembangkan penalaran induktif, dan perkembangan dan analisis konsep.
5.      Model Pertumbuhan Kognitif (Jean Piaget, Irving Sigel, Edmund, Sulivan, Lawrence Kohlberg. Model ini dirancang untuk meningkatkan perkembangan intelektual, terutama penalaran logis guna diterapkan pada perkembangan sosial dan moral.
6.      Model (David Ausubel). Model ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi kemampuan pemprosesan informasi untuk menyerap danmengaitkan bidang pengetahuan lainnya.
7.      Model (Harry Lorayne, Jerry Lucas).